Agrozine – Pembangunan pertanian dan perkebunan merupakan salah faktor penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan taraf hidup masyarakat. Kelapa sawit menjadi komoditas yang banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Jenis tanaman perkebunan ini bernilai ekonomi tinggi dan memiliki daya saing dalam perdagangan internasional. Hal inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia.
Setiap tahunnya, luas areal kebun dan jumlah produksi kelapa sawit meningkat di Indonesia. Dari tahun 2011 hingga 2015, luas areal mengalami peningkatan sebesar 20,13 persen sedangkan produksinya mencapai 25,66 persen. Untuk meningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia, pemerintah membuat standarisasi yang bernama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang diamanatkan dalam Permentan Nomor 19 Tahun 2011.
Regulasi ini kemudian direvisi menjadi Permentan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (ISPO). ISPO merupakan sertifikat yang wajib dimiliki oleh seluruh industri, operator perkebunan, serta produsen minyak sawit dan produk turunannya yang beroperasi di Indonesia. Perusahaan yang telah memenuhi seluruh standar dan dinyatakan layak saat sertifikasi akan mendapatkan sertifikat ISPO. Sementara, untuk usaha kebun plasma dan swadaya penerapannya masih bersifat sukarela.
Saat ini budidaya kelapa sawit tersebar pada berbagai wilayah di Indonesia. Menurut Pusdatin, areal produksi minyak kelapa sawit berada pada enam provinsi sentra yakni Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Jambi. Dilansir dari Direktorat Jenderal Perkebunan, provinsi Riau menjadi sentra utama produksi kelapa sawit Indonesia dengan luas areal sekitar 2,4 juta hektare dan jumlah produksi sekitar 8 juta ton.
Tidak hanya meningkatkan daya saing komoditas kelapa sawit, standarisasi dan sertifikat ISPO dibuat untuk mendukung pertanian kelapa sawit yang berkelanjutan. Pertanian yang berkelanjutan dapat dicapai bila terdapat keterpaduan tiga pilar utama pembangunan, yakni keberlanjutan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Salah satu BUMN Perkebunan di Provinsi Riau, PT Perkebunan Nusantara V (PTPN V) telah memiliki sertifikat ISPO untuk 11 kebun inti kelapa sawitnya.
PTPN V berkomitmen untuk membantu standarisasi dan sertifikasi ISPO pada seluruh kebun plasma yang bermitra dengan PTPN V, salah satunya pada Kebun Plasma Sei Buatan. Kebun Plasma Sei Buatan merupakan kebun plasma terbesar yang dikelola PTPN V dan berlokasi di Kecamatan Koto Gasib, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. ISPO untuk usaha kebun plasma memiliki enam prinsip yaitu legalitas usaha, manajemen kebun plasma, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan kerja, tanggung jawab sosial dan pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan usaha secara berkelanjutan.
Jika usaha kebun plasma menerapkan keenam hal tersebut, maka dapat memenuhi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam pertanian berkelanjutan. Hal inilah yang latar belakang Shella Vidya Pandiangan, lulusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran 2015 mengangkat skripsi berjudul “Kajian Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan di Kebun Plasma Sei Buatan Riau dalam Menghadapi Standarisasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)”.
Selain itu, Shella ingin melihat apakah masyarakat setempat telah benar-benar memahami ISPO dan bisa mengaplikasikannya di perkebunan sawit mereka. “Ingin melihat pengaplikasian ISPO yang merupakan upaya untuk mencegah black campaign ini berhasil atau tidak. Apakah betul-betul terlaksana. Apalagi lokasi penelitianku adalah kebun plasma yang bermitra dengan masyarakat,” jelas wanita kelahiran Pekanbaru, 1 November 1996 ini.
Menurut hasil penelitiannya, yang dilakukan pada Januari 2018, kebun seluas 9.500 hektare tersebut dikelola oleh petani yang rata-rata memiliki pengalaman bertani diatas 10 tahun. Penerapan aspek sosial di Kebun Plasma Sei Buatan sudah sesuai dengan standar ISPO dan berada pada kategori cukup baik. Sementara dalam penerapan aspek ekonomi, Kebun Plasma Sei Buatan sudah sangat baik dan berada pada kategori baik untuk penerapan aspek lingkungannya.
Provinsi Riau merupakan produsen sawit terbesar di Indonesia, baik dari perkebunan negara, swasta, dan rakyatnya. Shella ingin menunjukkan perkebunan sawit di daerah asalnya mendukung keberlanjutan pertanian. “Sawit di Riau sudah mendukung sustainability, untuk mendukung alam sehat, memakmurkan masyarakatnya, dan mensejahterakan dari segi ekonomi,” pungkasnya. (rin)